Urusan sampah di Indonesia belum menggembirakan. Gunung sampah
semakin menjulang di tempat pembuangan akhir (TPA). Mencoba inovasi baru
pengelolaan sampah terjangkau menjadi sangat penting.
Melihat kota-kota di Jepang yang bersih, itu bukan tanpa usaha. Dalam
kehidupan sehari-hari kita, di taman kota yang luas, sering tidak
disediakan tempat pembuangan sampah umum untuk keindahan. Kalaupun ada,
itu berupa tempat sampah ukuran biasa. Bagaimana menangani karakter
sampah di Indonesia yang sudah telanjur campur, tidak dipisah-pisah
dalam pengelolaannya.
Sejumlah mahasiswa Indonesia memilih studi pengolahan sampah di
Jepang, berharap pengelolaan sampah di Tanah Air bisa lebih baik. Bayu
Indrawan, mahasiswa kandidat doktor dari Department of Environmental
Science and Technology - Tokyo Institute of Technology - Jepang, adalah
salah seorangnya. Kegelisahan mengarahkannya kepada pencarian teknologi
alternatif yang sesuai kondisi sampah di Indonesia.
Mengolah sampah yang awalnya tercampur menjadi produk bermanfaat yang
homogen. Di tempatnya menimbal ilmu, Bayu diperkenalkan dengan
teknologi hydrothermal bernama Resource Recycling System (RRS).
Teknologi RRS ini hak paten Prof Kunio Yoshikawa dari Tokyo Institute of
Technology.
Bayu menuturkan, teknologi RRS cocok dengan karakter sampah campur
Indonesia yang tak perlu pemisahan (80% bahan organik dan campuran
plastik), RRS menggunakan gas bertekanan dan uap suhu tinggi (3 atm, 200
C). Cara ini lebih ramah lingkungan, relatif murah, teknologi lebih
sederhana sehingga komponen kandungan lokal bisa mendekati 90%. “Uang
tidak perlu dibelanjakan ke negara lain,”katanya. Teknologi alternatif
ini sudah diterapkan secara komersial di Jepang antara lain di
Hokkaido,Nagoya dan Ichinomiya.
Sampah campur perkotaan (Municipal Solid Waste/MSW) dan sampah
pertanian dimasukkan ke reaktor, disusul memasukkan uap bertekanan
tinggi dari boiler. Dengan alat pelebur, sampah di dalam reaktor terurai
dalam waktu 30-60 menit. Hasil sementara berupa lumpur. Pengeringan
lumpur,kering sendiri jika dibiarkan dua hari,atau disemprot dengan uap
panas dan hasilnya akan langsung kering – berupa bubuk menyerupai bubuk
batubara.
“Karena hanya menggunakan uap bertekanan tinggi, tidak menghasilkan
zat kimia berbahaya. Bau juga hilang dan bakteri mati karena suhu
tinggi,” kata Bayu. Hasil akhirnya bisa menjadi bahan penyubur tanah,
bahan bakar padat, bagus untuk bahan bakar oven. Dalam skala kecil bisa
dijadikan briket seperti arang untuk memasak.
Untuk kapasitas pengolahan sampah yang sama, dibandingkan dengan
sistem incinerator misalnya, investasi awal RRS 60% lebih murah dari
cara incinerator. Biaya operasional dan pemeliharaan instalasi 55% lebih
rendah dan menghasilkan produk bermanfaat. Membutuhkan lahan sedikit,
200 ton/hari sampah cukup ditampung di lahan setengah hektare, hasil
produk tadi memiliki kepadatan tinggi.
Dari tumpukan sampah yang banyak menjadi tumpukan kecil lagi
bermanfaat. Efisiensi teknologi pengolahan sampah ini tinggi, hanya
membutuhkan energi di bawah 20% dari keluaran yang dihasilkan untuk
menjalankan sistem pengolahan sampah.Jadi bisa memenuhi diri sendiri
(self sustainable system) atau tidak perlu energi tambahan dari luar
untuk menjalankannya.
Di Indonesia, karakter khas di lingkungan sampah yaitu abang-abang
petugas sampah di perumahan pun bisa dipekerjakan di plant RRS. Mereka
bisa dipekerjakan untuk mengepres briket dari produk keluaran, memilah
sampah besi dan glass yang tidak bisa dibakar. RRS punya kelebihan.
sumber : Seputar Indonesia versi cetak 13 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar