Salah satu tantangan yang dihadapi oleh
pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Berdasarkan
data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar
80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan
dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang
dibakar sebesar 37,6 % , yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak
tertangani sebesar 53,3 % (Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan
Pasca Krisis, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Oktober
2002).
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat
telah menyebabkan timbulan sampah pada perkotaan semakin tinggi,
kendaraan pengangkut yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai,
sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan,
dan belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse dan recycle (3 R).
Besarnya timbulan sampah yang tidak
dapat ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan baik
langsung maupun tidak langsung bagi penduduk kota. Dampak langsung
dari penanganan sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah
berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit serta gangguan
pernafasan, sedangkan dampak tidak langsungnya di antaranya adalah
bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai
karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke sungai. Salah satu
tujuan wisata, Indonesia pernah diberitakan dalam media cetak asing
sebagai kawasan tidak sehat karena persampahan yang tidak ditangani
secara serius. Berita tersebut mencuat karena dalam satu kurun waktu,
beberapa turis mancanegara terserang penyakit kolera sehingga perlu
diterbangkan kembali ke negaranya (Wibowo dan Djajawinata, 2004).
Menurunnya kualitas pengelolaan sampah
secara signifikan umumnya mulai terjadi sejak krisis ekonomi yang
berkepanjangan menimpa seluruh kota di Indonesia. Hal tersebut
berdampak pada penurunan kinerja sarana dan prasarana persampahan
serta menurunnya kapasitas pembiayaan dan retribusi. Selain itu juga
muncul fenomena menurunnya peran serta masyarakat dalam menjaga
kebersihan lingkungan. Berdasarkan hasil survey BPS tahun 2000,
tingkat pelayanan sampah hanya mencapai 41 % (rata-rata nasional) dan
penerimaan retribusi hanya 22 %.
Adanya berbagai komitmen internasional
seperti pemenuhan target MDGs yang mensyaratkan peningkatan pelayanan
separuh dari jumlah penduduk yang belum mempunyai akses pelayanan
persampahan sampai tahun 2015 (kurang lebih 70 % pada tahun 2015) dan
pengurangan emisi berdasarkan Kyoto Protocol, menuntut kesungguhan
semua stakeholders persampahan baik di tingkat pusat, daerah, dunia
usaha dan masyarakat untuk meningkatkan sistem pengelolaan persampahan
agar berkelanjutan.
Dalam rangka memperingati Hari Habitat
Dunia yang jatuh pada tanggal 3 Oktober telah dilakukan serangkaian
diskusi nasional yang salah satu hasilnya adalah suatu rencana tindak untuk
menyikapi kondisi persampahan yang ada saat ini serta dalam rangka
menerapkan Kebijakan Nasional Pembangunan Bidang Persampahan dan
sebagai upaya pencapaian target MDGs.
Permasalahan persampahan yang sudah
mengemuka secara nasional didominasi oleh wilayah perkotaan yang
memiliki keterbatasan wilayah TPA sehingga dampaknya tidak saja
terhadap pencemaran lingkungan tetapi sudah menelan korban. Meskipun
demikian, saat ini permasalahan sampah masih terus berlanjut. Upaya
perbaikan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak masih belum
menunjukan hasil yang signifikan. Demikian juga yang berkaitan dengan
upaya pengurangan volume sampah yang harus dibuang ke TPA melalui
program 3 R masih belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh, karena
sulitnya melaksanakan perubahan prilaku masyarakat dalam pemilahan
sampah serta sulitnya merubah cara pandang ” sampah sebagai sumber
daya “
Sumber: http://msatori.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar